Koalisi Sipil Tekan Pemerintah Soal Reformasi Aparat: Tolak Keterlibatan Militer di Ranah Sipil

banner 468x60

Jakarta – Lembaga kajian De Jure bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor
Keamanan terus menyuarakan perlunya pembenahan mendasar terhadap aparat penegak hukum dan institusi keamanan negara.

KMS secara aktif mengawal berbagai rancangan undang-undang dan kasus hukum yang dinilai mencerminkan lemahnya akuntabilitas lembaga penegak hukum serta menguatnya kecenderungan militerisme dalam kebijakan publik.

Read More
banner 300x250

Salah satu isu utama yang menjadi sorotan adalah potensi ekspansi peran militer dalam dua rancangan undang-undang strategis, yakni RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber.

De Jure menilai keduanya sama-sama membuka peluang kembalinya militer ke ranah sipil melalui jalur penyidikan dan keamanan siber.

Dalam pembahasan RUU KUHAP, De Jure menyoroti wacana penyidik militer yang dapat turut menangani perkara pidana umum. Bhatara Ibnu Reza menegaskan bahwa hal ini merupakan bentuk kemunduran dalam reformasi sektor keamanan.

“Dengan berlindung di aturan itu, mereka masuk ke ranah hukum. Padahal TNI bukan aparat penegak hukum,” tegas Bhatara.

la menilai, pemberian kewenangan penyidikan kepada TNI akan menabrak prinsip supremasi sipil dan memperluas ruang militer di luar fungsi pertahanan.

Kekhawatiran serupa juga mencuat dalam pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS), yang dinilai memberi peran berlebihan kepada unsur militer dan intelijen di ruang digital tanpa mekanisme pengawasan yang kuat.

Menurut De Jure bersama Koalisi Masyarakat Sipil, RUU KKS berpotensi mengubah ruang siber menjadi area abu-abu yang dikuasai oleh aparat bersenjata, bukan lembaga sipil yang akuntabel.

Bhatara menambahkan, lemahnya fungsi pengawasan politik memperburuk situasi ini, “Problem yang hari ini kita lihat adalah DPR tidak terlihat ada gerakan oposisi atau perlawanan terhadap rancangan-rancangan yang memperluas kewenangan aparat ini secara politik,” kata Bhatara.

Selain itu, De Jure juga menyoroti RUU Kejaksaan yang dinilai memperluas kewenangan lembaga tersebut tanpa kontrol memadai.

“Konsep Dominus Litis yang memberikan kewenangan mutlak kepada Jaksa dalam penyidikan justru akan membuat kewenangan Kejaksaan tidak terbatas dan sulit diawasi,” ujar Bhatara.

Isu lemahnya penegakan hukum juga tergambar dalam kasus Silfester Matutina, di mana Kejaksaan dinilai tidak tegas dalam mengeksekusi putusan pengadilan.

Bhatara menyesalkan sikap Kejaksaan yang justru meminta bantuan penasihat hukum terpidana untuk menghadirkan kliennya kepada jaksa eksekutor, “Alih-alih mengeksekusi putusan, pihak kejaksaan justru meminta bantuan penasihat hukum terpidana untuk menghadirkan kliennya kepada jaksa eksekutor,” ujarnya.

Dalam konteks reformasi Polri, De Jure menekankan bahwa pembenahan institusi kepolisian tidak bisa berhenti pada perubahan struktural semata. Budaya kelembagaan dan pengawasan internal yang lemah masih menjadi akar persoalan.

“Reformasi Polri seharusnya menyentuh hal-hal mendasar seperti transparansi, pengawasan, dan perubahan kultur kelembagaan,” tutur Bhatara pada media.

Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan bahwa seluruh rangkaian kritik dan advokasi ini bertujuan untuk memastikan agar reformasi sektor keamanan tidak melenceng dari prinsip konstitusi : penegakan hukum harus berbasis pada akuntabilitas sipil, transparansi publik, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

De Jure menegaskan, penguatan hukum dan keamanan nasional tidak boleh dijadikan alasan untuk memperluas peran militer atau memperkuat impunitas aparat.

banner 300x250

Related posts

banner 468x60

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *