Jakarta – Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto menegaskan bahwa capaian yang dihasilkan dalam KTT ASEAN merupakan titik temu negara-negara ASEAN dan juga sejumlah negara sahabat dalam menyikapi sejumlah isu global.
Termasuk tidak terbatas pada isu-isu lingkungan. Salah satu capaian yang tergolong maju adalah pembahasan perdagangan karbon alias karbon trading.
“Di KTT ASEAN ini, ada kepentingan negara-negara ASEAN sebagai negara surplus karbon terlindung. Dan juga lebih mendapat lindungan nilai dari kesepakatan yang dihasilkan di KTT ASEAN,” tegas Hari Purwanto, hari ini.
Menurutnya, keberatan WALHI menjadi aneh, ahistoris dan juga tidak relevan. Justru sedari awal, karbon trading dimaksudnya sebagai mitigasi resiko industrialisasi yang sudah terlanjur terjadi.
“Dengan adanya perdagangan karbon, negara-negara surplus karbon, termasuk Indonesia, bisa mengelola hutan-hutan dengan kompensasi dari negara minus karbon. Sehingga, istilah free air tidak lagi berlaku,” sebutnya.
Dikatakannya, Indonesia juga sejumlah negara ASEAN, sebagai paru-paru dunia akan mendapat kompensasi dan benefit dari perdagangan karbon. Hal ini juga tentunya akan mendorong pemeliharaan hutan-hutan.
“Keberatan WALHI justru seolah melindungi kepentingan industri dan negara maju yang merasa dirugikan karena harus membayar kompensasi negatif karbon. Polusi yang selama ini gratis, kali ini mesti membayar ‘denda’ dengan kewajiban membeli karbon,” pungkasnya.