Jakarta – Aktivis 98 dan Ketua Umum Badan Relawan Nusantara (BRN), Edysa Girsang alias Ekik, merespons munculnya petisi 100 yang mendesak agar DPR dan MPR segera memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Edysa menilai, masyarakat dikejutkan dengan cerita eks Ketua KPK Agus Rahardjo terkait dugaan intervensi Jokowi dalam kasus e-KTP yang berakhir dengan adanya revisi UU KPK. “Iya, cawe-cawe jokowi, dari politik dinasti hingga ke pengakuan Agus Rahardjo,” ucapnya.
Meski begitu, ia menilai bahwa wacana pemakzulan Jokowi tidak akan terjadi. “Ada sekelompok orang barisan sakit hati yang mengulirkan wacana pemakzulan Presiden Jokowi. Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh nasional dan akademi intelektual yang mengulirkan hal ini, padahal arah ke pemakzulan tidak berdasar dan sulit dilakukan”, tuturnya.
Sebelumnya, sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat mendesak DPR dan MPR segera memakzulkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Tuntutan itu buntut dugaan pelanggaran konstitusional Jokowi, antara lain nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi atau MK dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Sejumlah tokoh yang terlibat dalam Petisi 100 antara lain mantan KASAD Jenderal TNI Purn. Tyasno Sudarto, mantan Ketua MPR Amien Rais, Guru Besar UGM Zainal Arifin Mochtar, pengajar UNS M. Taufiq, Ketua FUI DIY Syukri Fadholi, Ketua BEM KM UGM Gielbran M. Noor, serta perwakilan Petisi 100 Marwan Batubara.
Edysa melihat bakal terjadi pertarungan politik apabila DPR jadi mengusulkan hak angket. “Karena saya lihat pengusul langkah-langkah itu pasti juga akan diserang balik, yang akan dikerjain,” kata Edysa.
Edysa menilai posisi politik Jokowi masih kuat di Parlemen. Sehingga, isu pemakzulan bakal menguap dengan sendirinya. “Jokowi masih kuat jadi agak berat masih melihatnya seperti itu”, ucap Edysa.
Isu pemakzulan mencuat setelah sejumlah anggota Dewan mengajukan hak angket MK.
“Hak angket digulirkan akibat MK mengeluarkan putusan syarat batas usia capres-cawapres yang meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi cawapres. Di samping itu, Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengatur soal pemakzulan presiden. Dalam aturan itu dijelaskan, presiden dan wakil presiden bisa diberhentikan jabatannya oleh MPR dan DPR dengan mekanisme tertentu. Pemakzulan bisa dilaksanakan apabila presiden atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum”, lanjut Edysa.
“Pasal 7A dan 7B UUD 1945, secara lengkap berbunyi, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”, tutupnya.